PostMetro.Org : PENGANTAR: Tanggal ini, 15 Januari, 23 tahun yang lalu, Jakarta diguncang huru-hara. Demonstrasi mahasiswa yang semula hany...
PostMetro.Org : PENGANTAR: Tanggal ini, 15 Januari, 23 tahun yang lalu, Jakarta diguncang huru-hara. Demonstrasi mahasiswa yang semula hanya menolak modal asing dan keterlibatan para cukong, belakangan meminta Soeharto mundur sebagai presiden. Belasan orang tewas, ratusan ditangkap, sejumlah tempat di Jakarta menjadi arang. Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Malapetaka 15 Januari atau Malari 1974 itu, belakangan memunculkan isu adanya perebutan pengaruh di antara jenderal. Ujung-ujungnya sejumlah jenderal mengundurkan diri atau dicopot, dan pemerintah melakukan penataan intelijen. Aksi mahasiswa itu bukan hanya dinilai gagal, tapi juga berujung pada dimulainya tindakan represif dari rezim Orde Baru. Berikut adalah catatan Rimanews dari berbagai buku dan sumber tentang Malari 1974 yang terbagi dalam tiga tulisan.
Sumber Artikel RimaNews
Sampai pekan pertama Januari 1974, hujan lebat mengguyur Jakarta setiap hari. Sinar matahari jarang terlihat. Tapi demonstrasi-demonstrasi mahasiswa dan pelajar, tidak berhenti pada hari-hari itu. Beberapa hari sebelumnya, pada malam tahun baru, mereka mengadakan tirakatan tengah malam di Kampus UI di Salemba.
Sekelompok mahasiswa lain mendatangi jaksa agung untuk menyerahkan daftar nama cukong-cukong Cina yang dianggap sebagai biang keladi terjadinya korupsi dan penyelewengan-penyelewengan para pejabat. Aksi-aksi mahasiswa dan pelajar itu, kemudian menjalar ke kota-kota lain, di kampus-kampus di Yogyakarta, Bandung, Ujung Pandang (sekarang Makassar), dan Medan.
Banyak juga mahasiswa dan intelektual mengadakan diskusi-diskusi. Pemerintah mendapat sorotan tajam karena persoalan korupsi, modal asing, peran Jepang, asisten-asisten pribadi presiden seperti Ali Murtopo dan Sedjono Hoemardani. Berbagai poster dipasang di berbagai tempat.
Mereka kemudian menginjak-injak poster yang bertuliskan “Jalin Persahabatan Indonesia-Jepang” yang semula mereka bentangkan. Lalu mereka menggantinya dengan poster lain bertuliskan “Pembela Tanah Air” atau “PETA”.
Terbaca pula poster-poster lain: “Bubarkan Aspri”, “Biankie, Biangkoen dalam cukong”, “Soedjono Hoemardani Dalang Makelar Politik”, “Cukong Membahayakan Stabilitas”, Ali Murtopo Calo Politik”, “Jepang Merusak Indonesia”, dan lain-lain. “Itu menunjukkan kebencian mereka,” kata pensiunan Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban, Jenderal Soemitro dalam bukunya “Soemitro dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib” yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan tahun 1994 dan ditulis oleh Ramadhan K.H.
Jakarta seperti garang
Dia khusus berbicara Malari 1974 atau Malapetaka 15 Januari 1974 pada Bab 51 yang dimulai dari halaman 311 hingga 333. Itulah kerusuhan yang membakar Jakarta menyusul serentetan aksi mahasiswa, yang kemudian berujung pada “pencopotan” dirinya sebagai Pangkopkamtib/Wakil Panglima ABRI. Di bab ini, Soemitro memulai narasinya dengan menjelaskan situasi Jakarta dan kota-kota lainnya beberapa hari sebelum 15 Januari 1974 meledak.
“Tanggal 10 Januari hari ulang tahun Tritura. Sejumlah mahasiswa berziarah ke makam Arief Rahman Hakim di Pekuburan Blok P Kebayoran Baru. Kelompok mahasiswa juga mengadakan aksi di Lapangan Banteng. Mereka meneriakkan yel-yel ‘Turunkan Harga’, ‘Bubarkan Aspri’. Macam-macam begitu letupan batin para mahasiswa,” kata Soemitro.
Aspri adalah singkatan Asisten Pribadi (Presiden), yang zaman itu dipegang oleh Jenderal Ali Murtopo. Dia juga menjabat sebagai Kepala Opsus atau Operasi Khusus, dan Deputy Kepala Bakin (sekarang BIN). Tapi oleh mahasiswa, Aspri kemudian diplesetkan menjadi “Anak Kesayangan Presiden.” Menurut Soemitro, dia berpesan kepada wakilnya, Laksamana Soedomo, (yang kelak diangkat sebagai Pangkopkamtib menggantikan Soemitro), agar jangan sampai terjadi demonstrasi karena bisa saja aksi mahasiswa ditunggangi orang-orang yang menyalahgunakan keadaan. “Jaga mereka, jangan sampai berdemonstrasi. Saya larang demonstrasi.”
Sampai tanggal 10 Januari, demonstrasi mahasiswa memang belum meletus di Jakarta. Tapi Soemitro yang menggambarkan Jakarta tak berhenti diguyur hujan pada pekan-pekan pertama Januari di pembukaan bab Malari ini, di bagian lain juga menggambarkan keadaan Jakarta yang semakin memanas. “Udara seperti lebih gerah dari biasanya. Suasana seperti sedang digarang. Apakah perasaan saya saja sedang begitu?”
Sekitar dua hari sebelum 15 Januari, Soemitro menghadiri rapat penerangan Hankam dan seluruh Jajaran ABRI. Didampingi Kepala Pusat Penerangan ABRI masa itu, Brigjen Sumrahari, Soemitro berbicara bahwa media massa berfungsi sebagaiman mestinya. Menurut Soemitro, penjelasannya penting untuk media massa dan tidak berbeda dengan yang sudah dia sampaikan kepada para pemimpin redaksi, para wartawan senior jauh sebelum itu.
Tunggu dulu Mit...
Kembali dari Cipayung, seorang stafnya memberikan laporan: Jakarta Raya hangat. Hariman Siregar dari Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia ingin berdialog dengan PM Jepang, Kukei Tanaka yang akan berkunjung ke Indonesia. Mendapat laporan itu, Soemitro lantas memanggil kuasa usaha (charge d’affairs) Kedutaan Jepang, karena duta besar Jepang sedang berada di Tokyo. Kepada kuasa usaha Jepang yang tidak disebutkan namanya itu, Soemitro menyampaikan kekecewaannya terhadap perilaku dan sikap orang Jepang atau pengusaha-pengusaha Jepang di Indonesia yang angkuh dan kurang ajar, dan dianggapnya melukai perasaan orang-orang Indonesia. “Kalian harus ingat ini,agar kalian tidak jadi sasaran.”
Sehari menjelang kedatangan Tanaka, 15 Januari,Soemitro menghadiri rapat Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi atau Wanjakti di Kantor Menhankam/Pangab di Jalan Medan Merdeka Barat. Tapi selama rapat, dia tak berhenti menerima laporan perkembangan dari Soedomo dan Brigjen Herman Sarens yang menjabat Komandan Korps Markas Hankam, yang mengabarkan ada pembakaran di depan Kedutaan Jepang di Jalan Thamrin, perampokan di Glodok, gejala buruk di Pasar Senen, dan rencana demonstrasi. Soemitro merasakan suasan rusuh akan terjadi. Dia karena itu minta izin untuk tidak melanjutkan mengikuti rapat Wanjakti, tapi niatnya ditahan oleh atasnya, Pangab Jenderal Maraden Panggabean. Berkali-kali. “Mit tunggu dulu. Tunggu dulu. Jangan pergi dulu,” kata Soemitro menggambarkan permintaan Panggabean.
Soemitro baru benar-benar bisa keluar setelah rapat selesai. Dia segera menemui Soedomo yang negpos di kantornya, dan menanyakan apa yang dibutuhkan. Soedomo menjawab perlu tambahan pasukan. Mendengar itu, lewat telepon Soemitro menghubungi Pangdam Brawijaya dan Diponegoro dan meminta kedua Kodam itu mengirimkan masing-masing satu batalion pasukan, dan disanggupi.
Selesai bertanya pada Soedomo dan menghubungi Pangdam Brawijaya dan Diponegoro, Soemitro kaget karena Panggabean dan Sudharmono (waktu itu Mensesneg). Dia menggambarkan kedatangan dua orang itu di Pos Kopkamtib sebagai sesuatu yang “aneh” tapi dia tidak menjelaskan: kenapa dianggap aneh.
Laporan berikutnya: ada kelompok massa yang bergerak ke rumah Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani. Soemitro memerintahkan Soedomo untuk mengirimkan pasukan ke rumah mereka.
Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani adalah dua orang yang dekat dengan Presiden Soeharto. Ali adalah Asisten Pribadi dan Soedjono disebut-sebut sebagai “penasihat spiritual” Soeharto.
Mau ke mana kalian?
Dalam buku “Menyibak Tabir Orde Baru”, Jusuf Wanandi menyebut Soedjono disebut sebagai perwira yang menggagalkan pengunduran diri Soeharto dari ketentaran menjelang peristiwa berdarah 1965. Jusuf adalah pendiri Centre for Strategic and International Studies atau CSIS dan dalam buku Soemitro, namaya dan juga nama adiknya Sofyan Wanandi disebut-sebut sebagai orang yang ditolak oleh mahasiswa dengan poster “Biankie, Biangkoen dalam cukong.”
Dalam buku Jusuf, Soedjono disebut pula sebagai teman dekat dari Romo Soedijat yang sudah meramal Soeharto akan menjadi orang penting. Keduanya, Ali dan Soedjono adalah perwira-perwira yang mendampingi Soeharto sejak Soeharto menjabat sebagai Pangdam Diponegoro. Ketika Soeharto menjabat presiden, Ali dan Seodjono, disebut oleh Jusuf sebagai pelindung think thank di CSIS yang berkantor di Tanah Abang. Berkat dua orang itulah, gagasan-gagasan CSIS menurut Jusuf, bisa masukdan diterima oleh Soeharto.
Setelah satu regu pasukan menjaga rumah Ali dan Soedjono, Soemitro memerintahkan Soedomo agar menjaga Istana dari serbuan mahasiswa, karena siang itu ada laporan, mahasiswa sudah bergerak dari Thamrin menuju Monas dan sudah mendekat air mancur di dekat silang Monas. “Jaga jangan sampai ada demonstran yang masuk ke Monas dan menyeberang sungai di belakang Istana.” Selesai memberi perintah, Soemitro naik jip menuju Thamrin dan menemui mahasiswa. Di lokasi, Soemitro mendapat demonstran, ternyata hanya anak-anak SD, SMP dan SMA.
“Mau ke mana kalian?”
“Mau ini, mau itu pak (menyebut nama Tanaka).”
“Tidak bisa.Itu urusan pemerintah. PM Tanaka itu tamu pemerintah. Ayo kembali.”
Mereka mengikuti saran Soemitro dan bergerak menuju Kebayoran, tapi tertahan di depan Kedutaan Jepang karena ada kendaraan yang dibakar. Soemitro kembali menenangkan orang-orang yang marah hingga “insiden” di Jalan Thamrin bisa diatasi: demonstran tak bergerak ke Monas. Dia kembali ke kantor, tapi pada saat itu, dia justru menerima laporan, Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta berada di Kampus UI memberikan orasi.
Sama dengan Soedomo, Ali adalah perwiwa TNI AL. Namanya waktu itu sedang digadang-gadang menjadi presiden. Soemitro segera minta Ali datang ke kantornya. “Jenderal Ali, ada apa ini? Kalau ada apa-apa, silakan bicara dengan Soedomo, sama-sama dari Angkatan Laut. Jangan main sendiri. Ada apa ke kampus?”
Main pistol-pistolan
Besoknya, Jakarta diguncang hura-hara. Pasar Senen terbakar. Dalam buku “Benny Tragedi Seorang Loyalis” (Kata Hasta Pustaka 2007), Julius Pour menulis, kerusuhan sehari itu menewaskan 11 orang, 17 luka berat, 120 orang luka ringan, 775 orang ditahan, 114 bangunan hancur, 807 mobil dan 187 sepeda motor dibakar. Demonstrasi mahasiswa menuntut Soeharto diturunkan. Beberapa koran dan majalah yang terbit di Jakarta ditutup oleh pemerintah. Dalam laporannya kepada Soeharto, Soemitro menyampaikan aksi-aksi mahasiswa itu didalangi oleh PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang dilarang di zaman Soekarno dan Soeharto, tapi bersamaan dengan itu juga beredar apa yang disebut sebagai dokumen “Ramadi” yang isinya menyudutkan Soemitro.
Antara lain disebutkan: Soemitro akan menggulingkan Soeharto. “Ada seorang Jenderal berinisial S akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan presiden sekitar bulan April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh.” Ramadi konon dikenal dekat dengan Soedjono dan Ali Moertopo, tapi menurut Soemitro, Seodjono dan Ali justru banyak membantunya mengatasi Malari.
Ujung dari kerusuhan itu pada akhirnya merembet ke puncak kekuasaan tentara: Soemitro mengundurkan diri. Soeharto sempat melarangnya, tapi Soemitro bergeming. Dia juga menolak ditawari jabatan sebagai duta besar di Amerika Serikat. Panggabean yang oleh Soemitro digambarkan “tiba-tiba” muncul di Pos Kopkamtib, dan hadir Pasar Senen, naik jadi Panglima ABRI. Lalu ketika pada suatu hari dia memanggil Soemtro, Soemitro menggambarkan pembicaraan dengan Panggabean sebagai sesuatu yang menyinggung harga dirinya. “Saya jijik melihat Panggabean,” kata Soemitro.
Belakangan, media-media melaporkan, peristiawa Malari terjadi karena ada rivalitas antara Ali dan Soemitro. Tapi menurut Soemitro, setelah dia melapor ke Soeharto dan mengundurkan diri sebagai Panglima ABRI, dia sengaja meminta kepada Ali untuk merusak namanya demi pemerintahan Orde Baru, dan Ali benar-benar melakukannya. “Rusakno jenengko (rusakkan namaku). Saya perintahkan kamu.”
Sejak itu, nama Soemitro benar-benar “rusak” tapi orang-orang tidak tahu bahwa hal itu memang disengaja oleh Soemitro. Belakangan, ketika keadaaan sudah setelah Malari bisa diatasi,Soemitro berpesan kepada L.B. Moerdani, yang baru ditarik ke Jakarta dari Korea Selatan, agar Ali jangan keterusan merusak namanya. “Ben, tolong sampaikan ke Ali, kalau terus-terusan merusak nama baik saya, dia akan saya datangi dan aku ajak main pistol-pistolan.”
loading...
COMMENTS